Pada 19 Februari 1942 rakyat Seulimeun memulai pemberontakan panjang dan berdarah yang tidak bakal dilupakan oleh orang-orang Belanda yang pernah di Aceh pada masa itu.Para pejuang Aceh ini melakukan berbagai sabotase terhadap jaringan telepon, telegrap dan jalan kereta api.Titik kumulasi pertama dari gerakan ini terjadi pada malam hari 23 Februari ketika pecah kerusuhan besar.
Contents
Siapa pemimpin pemberontakan di Aceh?
KOMPAS.com – Pada tanggal 20 September 1953 telah terjadi Pemberontakan DI/TII di Aceh yang dipimpin oleh Daud Beureueh, Daud Beureueh merupakan seorang pemimpin sipil, agama, dan militer di Aceh pada masa perang Agresi Militer Belanda I. Pemberontakan DI TII di Aceh diawali dengan adanya pernyataan proklamasi terkait berdirinya Negara Islam Indonesia (NII) di bawah imam besar Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo.
Siapa yang memimpin pemberontakan DI TII?
Pemberontakan DI/ TII di Jawa Tengah dipimpin oleh Amir Fatah dan Mahfu’dz Abdurachman atau Kyai Somalangu).
Mengapa Daud Beureueh memimpin pemberontakan DI TII di Aceh?
Pemberontakan Daud Beureueh (DI/ TII Aceh ) pada tahun 1953 disebabkan kekecewaan masyarakat Aceh terhadap berbagai kebijaksanaan dari Pemerintah Pusat.
Siapakah pemimpin Darul Islam?
Pemberontakan DI/TII di Jawa Barat – Pemberontakan Darul Islam atau Tentara Islam Indonesia di Jawa Barat dipimpin oleh Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo (S.M. Kartosuwiryo). Pada masa pergerakan nasional, Kartosuwiryo merupakan tokoh pergerakan Islam Indonesia yang cukup disegani.
Selama pendudukan Jepang, Kartosuwiryo menjadi anggota Masyumi. Bahkan, ia terpilih sebagai Komisaris Jawa Barat merangkap Sekretaris I. Dalam kehidupannya, Kartosuwiryo mempunyai cita-cita untuk mendirikan Negara Islam Indonesia. Untuk mewujudkan cita-citanya, Kartosuwiryo mendirikan sebuah pesantren di Malangbong, Garut, yaitu Pesantren Sufah.
Pesantren Sufah selain menjadi tempat menimba ilmu keagamaan juga dijadikan sebagai tempat latihan kemiliteran Hizbullah dan Sabilillah. Dengan pengaruhnya, Kartosuwiryo berhasil mengumpulkan banyak pengikut yang kemudian dijadikan sebagai bagian dari pasukan Tentara Islam Indonesia (TII).
- Dengan demikian, kedudukan Kartosuwiryo semakin kuat.
- Sejalan dengan hal itu, pada 1948 Pemerintah RI menandatangani Perjanjian Renville yang mengharuskan pengikut RI mengosongkan wilayah Jawa Barat dan pindah ke Jawa Tengah.
- Hal ini kemudian dianggap Kartosuwiryo sebagai bentuk pengkhianatan Pemerintah RI terhadap perjuangan rakyat Jawa Barat.
Bersama kurang lebih 2000 pengikutnya yang terdiri atas laskar Hizbullah dan Sabilillah, Kartosuwiryo menolak hijrah dan mulai merintis gerakan mendirikan Negara Islam Indonesia (NII). Atas gerakan itu, pemerintah RI berusaha menyelesaikan persoalan ini dengan cara damai dengan cara membentuk sebuah komite yang dipimpin oleh Natsir (Ketua Masyumi).
Siapakah tokoh Daud Beureueh?
Dari PUSA Menuju Darul Islam – Untuk membungkam dan memadamkan perlawanan Muslim Aceh, Belanda, atas saran Snouk Hourgronje, melakukan pengaburan konsep tauhid dan jihad. Belanda membuat aturan pelarangan berdirinya organisasi-organisasi politik Islam.
- Restriksi ini membuat para ulama di Aceh berang dan ingin mengadakan pembaruan perjuangan melawan penjajah Belanda.
- Maka atas inisiatif beberapa ulama yang dipelopori oleh Teungku Abdurrahman, dibentuk sebuah organisasi yang bernama PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) di Matang Glumpang Dua.
- Dalam kongres pembentukannya, dipilihlah Teungku Muhammad Daud Beureueh sebagai ketua.
Aceh adalah negeri sejuta ulama, dan mengetuai organisasi politik ulama berarti juga secara de facto menjadi “Bapak Orang-Orang Aceh”. Semenjak itu, Daud Beureuh memegang peranan sangat penting di dalam pergolakan-pergolakan di Aceh, dalam mengejar cita-citanya menegakkan keadilan di bumi Allah dengan dilandasi ajaran syariat Islam.
- Sehingga, umat Islam dapat hidup rukun, damai dan sentosa sebagaimana yang dulu pernah diperbuat oleh raja-raja Islam sebelum mereka.
- Menurut catatan Compton, “M Daud Beureueh berbicara tentang sebuah Negara Islam untuk seluruh Indonesia, dan bukan cuma untuk Aceh yang merdeka.
- Ia meyakinkan, kemerdekaan beragama akan dijamin di negara semacam itu, dengan menekankan contoh mengenai toleransi besar bagi penganut Kristen dalam negara-negara Islam di Timur Dekat.
Kaum Kristen akan diberi kebebasan dan dilindungi dalam negara Islam Indonesia, sedangkan umat Islam tidak dapat merasakan kemerdekaan sejati kalau mereka tidak hidup dalam sebuah negara yang didasarkan atas ajaran-ajaran Alquran.” Langkah awal dalam upaya itu adalah mengusir segala jenis penjajahan yang pernah dipraktekkan Belanda, Jepang, dan zaman revolusi fisik (1945-1949) pada awal kemerdekaan, maupun ketika Aceh berada di bawah kekuasaan Orde Lama Soekarno dan Orde Baru Soeharto.
- Sejak saat itulah, Teungku Daud Beureueh diyakini oleh orang-orang sebagai “Bapak Darul Islam”.
- Daud Beureueh dikenal luas sebagai Gubernur Militer Aceh selama tahun-tahun revolusi.
- Tetapi ketika jabatannya sebagai Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo dicabut oleh PM Mohammad Natsir, ia hidup tenang-tenang di desanya -tampaknya seperti pensiun.
Setelah Aceh masuk ke dalam Republik Indonesia Komunis (RIK) di bawah panji Pancasila, Daud Beureueh diberi jabatan Gubernur Kehormatan dan diminta menetap di Jakarta sebagai penasihat di Kementerian Dalam Negeri. Ia tidak menerima penghormatan ini. Satu-satunya tindakan pentingnya yang diketahui umum adalah pada saat ia mengetuai Musyawarah Ulama Medan, April 1951.
- Setelah musyawarah itu, Daud Beureueh melakukan tur singkat keliling Aceh, memberikan ceramah-ceramah provokatif bernada mendukung ide Negara Islam.
- Ia kemudian kembali ke desanya, dan -membuat takjub penduduk Medan yang sudah maju- membangun sebuah tembok besar dan masjid sungguhan dengan tangannya sendiri.
Daud Beureueh lebih tampak sebagai pensiunan perwira militer ketimbang sebagai ahli agama, meskipun ia menyandang gelar teungku.
Upaya apa yang dilakukan pemerintah Indonesia untuk mengatasi setiap pemberontakan di berbagai daerah di Indonesia?
Kelas: XI Mata Pelajaran: Sejarah Materi: Pemberontakan di Indonesia Kata Kunci: diplomasi, operasi militer Saya akan mencoba menjawab pertanyaan ini dengan dua jawaban: Jawaban pendek: Mengatasi pemberontakan dalam negeri Indonesia dapat dilakuka dengan dua cara utama yaitu dengan diplomasi dan operasi militer: Jawaban panjang: Dalam sejarahnya, setelah kemerdekaan Indonesia, negara ini telah berkali-kali mengalami pemberontakan dari berbagai pihak.
Dalam penanganan pemberontakan ini pemerintah Indonesia melakukan dua strategi yaitu pendekatan militer dan diplomasi. Operasi militer dilakukan dengan mengirimkan pasukan untuk memerangi gerakan pemberontak. Operasi militer dilakukan dengan mengamankan obyek vital dan pusat pemerintahan dan mengisolasi gerakan pemberontak.
Sementara strategi diplomasi dilakukan dengan mengajak pemimpin pemberontak agar menyampaikan keluhanya yang menjadi alasan pemberontakan. Diplomasi dilakukan juga dengan memberikan amnesti atau pengampunan kepada mantan pemberontak yang mau meletakkan senjatanya.
Contoh dari penerapan kedua strategi ini adalah pemberantasan pemberontakan DI/TII pada tahun 1950an. Pemberontakan ini berlangsung di berbagai daerah seperti Jawa Barat, Aceh, dan Sulawesi Selatan. Dalam mengatasi pemberontakan ini pemerintah menggunakan kedua strategi, yaitu mengisolir pasukan pendukung Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo di pegunungan dengan operasi militer pagar betis, dan mengajak pemimpin pemberontak di Aceh, Daun Beureueh untuk berdiplomasi.
Akhirnya pemberontakan berahir setelah Kartosuwiryo tertangkap pada tahun 1962 dan Daud Beureueh bersedia mengakhiri pemberontakan pada tahun yang sama setelah Aceh menerima status daerah istimewa.
Apa yang dilakukan Ibnu Hajar?
KOMPAS.com – Ibnu Hadjar adalah Letnan Dua Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang memimpin aksi pemberontakan di Kalimantan Selatan pada 1950. Pemberontakan ini lebih dikenal dengan sebutan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Dalam pemberontakan ini, Ibnu Hajar bersama DT/TII menyerang pos-pos kesatuan tentara di Kalimantan Selatan dan menimbulkan kekacauan.
Bagaimana cara pemerintah menghadapi pemberontakan yang dilakukan Daud Beureuh?
TRESHA LENDIA PRATIWI/ SI V Negara Islam Indonesia (NII), Tentara Islam Indonesia (TII) atau biasa disebut dengan DI (Darul Islam) adalah sebuah gerakan politik yang didirikan pada tanggal 7 Agustus 1949 (12 syawal 1368 Hijriah) oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo di sebuah desa yang berada di kota Tasikmalaya, Jawa Barat.
NII tersebut diproklamasikan pada saat Negara Pasundan yang dibuat oleh Belanda mengangkat seorang Raden yang bernama Raden Aria Adipati Wiranatakoesoema sebagai pemimpin/presiden di Negara Pasundan tersebut. Gerakan NII ini bertujuan untuk menjadikan Republik Indonesia sebagai sebuah Negara yang menerapkan dasar Agama Islam sebagai dasar Negara.
Dalam proklamasinya tertulis bahwa “Hukum yang berlaku di Negara Islam Indonesia adalah Hukum Islam” atau lebih jelasnya lagi, di dalam undang-undang tertulis bahwa “Negara Berdasarkan Islam” dan “Hukum tertinggi adalah Al Qur’an dan Hadist”. Proklamasi Negara Islam Indonesia (NII) menyatakan dengan tegas bahwa kewajiban Negara untuk membuat undang-undang berdasarkan syari’at Islam, dan menolak keras terhadap ideologi selain Al Qur’an dan Hadist, atau yang sering mereka sebut dengan hukum kafir.
- Dalam perkembangannya, Negara Islam Indonesia ini menyebar sampai ke beberapa wilayah yang berada di Negara Indonesia terutama Jawa Barat, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan, Aceh, dan Sulawesi Selatan.
- Setelah Sekarmadji ditangkap oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan dieksekusi pada tahun 1962, gerakan Darul Islam tersebut menjadi terpecah.
Akan tetapi, meskipun dianggap sebagai gerakan ilegal oleh Negara Indonesia, pemberontakan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) ini masih berjalan meskipun dengan secara diam-diam. Pemberontakan DI/TII di Aceh dimulai pada tanggal 20 September 1953.
Dimulai dengan pernyataan Proklamasi berdirinya Negara Islam Indonesia oleh Daud Beureueh, proklamasi itu menyatakan diri bahwa Aceh sebagai bagian dari Negara Islam Indonesia (NII) dibawah kepemimpinan Imam Besar NII Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo. Daud Beureueh adalah seorang pemimpin sipil, agama, dan militer di Aceh pada masa perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia ketika agresi militer pertama Belanda pada pertengahan tahun 1947.
Sebagai “Gubernur Militer Daerah Istimewa Aceh” ia berkuasa penuh atas pertahanan daerah Aceh dan menguasai seluruh aparat pemerintahan baik sipil maupun militer. Peranannya sebagai seorang tokoh ulama membuat Daud Beureuh tidak sulit memperoleh pengikut.
- Dalam persiapan melancarkan gerakan perlawanannya Daud Beureueh telah berhasil mempengaruhi banyak pejabat-pejabat Pemerintah Aceh, khususnya di daerah Pidie.
- Pada masa-masa awal setelah proklamasi NII Aceh dan pengikut-pengikutnya berhasil mengusai sebagian besar daerah Aceh termasuk beberapa kota.
- Eterlibatan ulama di Aceh dalam mempertahankan Kemerdekaan Indonesia, setelah diproklamasikannya Negara Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 sangat besar.
Meskipun berita tentang Proklamasi Kemerdekaan Negara Republik Indonesia di Aceh agak terlambat.