Periode – Perang Samalanga pertama pada tanggal 26 Agustus 1877. Panglima besar Belanda, Mayor Jenderal Karel van der Heijden kembali ke pasukannya setelah mendapatkan perawatan pada matanya yang tertembak Perang Aceh Pertama (1873-1874) dipimpin oleh Panglima Polim dan Sultan Mahmud Syah melawan Belanda yang dipimpin Köhler,
- Öhler dengan 3000 serdadunya dapat dipatahkan, di mana Köhler sendiri tewas pada tanggal 14 April 1873,
- Sepuluh hari kemudian, perang berkecamuk di mana-mana.
- Yang paling besar saat merebut kembali Masjid Raya Baiturrahman, yang dibantu oleh beberapa kelompok pasukan.
- Ada di Peukan Aceh, Lambhuk, Lampu’uk, Peukan Bada, sampai Lambada, Krueng Raya.
Beberapa ribu orang juga berdatangan dari Teunom, Pidie, Peusangan, dan beberapa wilayah lain. Perang Aceh Kedua (1874-1880). Pasukan Belanda dipimpin oleh Jenderal Jan van Swieten, Belanda berhasil menduduki Keraton Sultan, 26 Januari 1874, dan dijadikan sebagai pusat pertahanan Belanda.
- Pada 31 Januari 1874 Jenderal Van Swieten mengumumkan bahwa seluruh Aceh jadi bagian dari Kerajaan Belanda,
- Etika Sultan Machmud Syah wafat 26 Januari 1874, digantikan oleh Tuanku Muhammad Dawood yang dinobatkan sebagai Sultan di masjid Indrapuri,
- Perang pertama dan kedua ini adalah perang total dan frontal, di mana pemerintah masih berjalan mapan, meskipun ibu kota negara berpindah-pindah ke Keumala Dalam, Indrapuri, dan tempat-tempat lain.
Perang ketiga (1881-1896), perang dilanjutkan secara gerilya dan dikobarkan perang fi sabilillah, Di mana sistem perang gerilya ini dilangsungkan sampai tahun 1903. Dalam perang gerilya ini pasukan Aceh di bawah Teuku Umar bersama Panglima Polim dan Sultan.
Siapa yang melakukan perlawanan di Kerajaan Aceh?
Latar Belakang Perang Aceh – Mengutip dari buku Sejarah Kebudayaan Islam Madrasah Aliyah Kelas XII, awalnya Belanda melakukan perjanjian damai dengan Aceh. Namun, pemerintah kolonial menyadari Aceh menjadi wilayah penting untuk jalur perdagangan. Akhirnya Aceh melanggar perjanjian kemudian memulai penyerangan.
- Belanda membawa pasukan perang sampai 3.000 orang dan mendatangan kapal-kapal perang.
- Perang dipimpin oleh Mayor Jenderal Kohler pemimpin pasukan.
- Serangan pertama dimulai di ibu kota Aceh, Masjid Baiturrahman.
- Perang melawan pasukan Belanda ini berlangsung selama dua minggu.
- Sampai akhirnya Belanda berhasil menduduki istana.
Namun, perjuangan Belanda menaklukkan istana sia-sia karena Sultan Aceh dan keluarganya berhasil melarikan diri. Sultan pergi ke daerah Lueng Bata di Aceh. Mengutip dari buku IPS Terpadu (Sosiologi, Geografi, Ekonomi, Sejarah) perang Aceh terus terjadi hingga tahun 1912.
Pahlawan wanita Cut Nyak Dien berjuang dalam perang Aceh, sampai akhirnya menyerah di tahun 1905. Kemudian perlawanan dilakukan oleh pejuang wanita lain yaitu Tjut Nyak Meutia. Namun, Tjut Nyak Meutia gugur dalam perang di tahun 1910. Perang Aceh terus terjadi di tahun 1912 meski banyak pemimpin yang gugur di medan perang.
Perang Aceh berakhir setelah Belanda memakai strategi devide et impera. Strategi devide et impera atau politik adu domba. Strategi ini digunakan untuk memecah kedua belah pihak.
Bagaimana perlawanan Kerajaan Aceh terhadap Portugis dan VOC?
pixabay.com Inilah Tempat-tempat di Indonesia yang Menjadi Sentra Rempah Bobo.id – Sebelum dijajah oleh Belanda, Indonesia mengalami penjajahan oleh bangsa Portugis, Ketika penjajahan oleh Portugis berlangsung di Indonesia, saat itu beberapa wilayah di Indonesia masih dipimpin oleh kerajaan -kerajaan.
- Pada awal kedatangan Portugis ke Indonesia, hal ini masih disambut baik oleh kerajaan-kerajaan yang ada di Indonesia.
- Baca Juga: Simak Penjelasan tentang Arti Perjuangan Masa Sekarang di Video Ini Namun sejak Malaka dikuasai oleh Portugis tahun 1511, terjadi persaingan dagang antara pedagang Portugis dan pedagang Indonesia, yang menyebabkan adanya perlawanan dari rakyat Indonesia.
Perlawanan rakyat Indonesia yang dilakukan oleh berbagai kerajaan ini disebabkan karena keberadaaan Portugis di Indonesia dianggap dapat menjadi ancaman bagi rakyat Indonesia. Yuk, ketahui perlawanan apa saja yang dilakukan oleh berbagai kerajaan di Indonesia untuk membuat Portugis keluar dari wilayah Indonesia! Baca Juga: Mengenal Kerajaan Tarumanegara, Kerajaan Hindu di Jawa Barat Perlawanan Kerajaan Aceh Terhadap Portugis Kerajaan Aceh adalah pihak yang melakukan perlawanan paling gigih di antara kerajaan lain di Indonesia.
Raja dari Kerajaan Aceh yang terkenal paling gigih melakukan perlawanan pada Portugis adalah Sultan Iskandar Muda. Saat itu, Sultan Iskandar Muda bersama Sultan Alu Mughayat Syah bersama-sama melakukan perlawanan terhadap Portugis yang menguasai wilayah Kerajaan Aceh. Perang dan perlawanan yang terjadi di Aceh ini dipicu oleh perebutan jalur perdagangan di Selat Malaka.
Baca Juga: Kebijakan Pemerintah Inggris di Indonesia pada Masa Kolonial di Berbagai Bidang anoldent from Asheville, NC, USA, CC BY-SA 2.0 via Wikimedia Commons Ilustrasi kapal Nusantara Cara yang digunakan Kerajaan Aceh untuk melawan Portugis adalah dengan melengkapi kapal dagang yang digunakan dengan berbagai persenjataan dan prajurit perang.
- Erajaan Aceh juga melakukan kerjasama dengan Kerajaan Demak, serta meminta persenjataan ke Turki, Inggris, hingga Gujarat.
- Namun perang ini tidak menghasilkan kemenangan bagi siapapun, karena Pelabuhan Malaka pada akhirnya diambil oleh Belanda.
- Baca Juga: Kenalan dengan Kerajaan Kutai, Kerajaan Hindu Tertua di Indonesia Perlawanan Kerajaan Ternate Kerajaan Ternate juga melakukan perlawanan terhadap Portugis, yang dipimpin oleh Sultan Baabullah.
Kedatangan Portugis ke Maluku pada awalnya disambut baik dan Portugis membangun pos dagang di Ternate dan berharap Portugis bisa menjadi pembeli rempah-rempah dengan harga tinggi dari Ternate.
Siapa tokoh yang memimpin perlawanan terhadap Portugis di Ternate?
KOMPAS.com – Sultan Khairun atau Sultan Hairun adalah penguasa Kerajaan Ternate ke-23, yang berkuasa antara 1534-1570. Di masa pemerintahannya, rakyat Maluku mulai memberikan perlawanan terhadap Portugis. Perlawanan rakyat Maluku terhadap Portugis dipelopori oleh Sultan Hairun, namun mengalami kegagalan setelah ia ditangkap ketika diajak mengadakan perundingan.