Banda Aceh. Kota Aceh merupakan kota yang dibangun oleh Sultan Johan Syah pada 1 Ramadhan 601 Hijriah atau pada 22 April 1205 Masehi. Banda Aceh dikenal sebagai kota Islam tertua di Asia Tenggara.
Contents
Kapan Berdiri Kota Banda Aceh?
Banda Aceh dikenal sebagai tua yang erat kaitannya dengan sejarah gemilang Kerajaan Aceh Darussalam. Di masa kesultanan, Banda Aceh dikenal sebagai Bandar Aceh Darussalam. Kota ini dibangun oleh Sultan Johan Syah pada hari Jumat, tanggal 1 Ramadhan 601 H (22 April 1205 M).
- Saat ini, Banda Aceh telah berusia 813 tahun.
- Banda Aceh merupakan salah satu kota Islam Tertua di Asia Tenggara.
- Ota Banda aceh juga memerankan peranan penting dalam penyebaran islam ke seluruh Nusantara/ Indonesia.
- Oleh karena itu, kota ini juga dikenal sebagai Serambi Mekkah.
- Di masa jayanya, Bandar Aceh Darussalam dikenal sebagai kota regional utama yang juga dikenal sebagai pusat pendidikan islam.
Oleh karena itu, kota ini dikunjungi oleh banyak pelajar dari Timur Tengah, India dan Negara lainnya. Bandar Aceh Darussalam juga merupakan pusat perdagangan yang dikunjungi oleh para pedagang dari seluruh dunia termasuk dari Arab, Turki, China, Eropa, dan India.
- Erajaan Aceh mencapai puncak kejayaan saat dipimpin oleh Sultan Iskandar Muda (1607-1636), yang merupakan tokoh legendaris dalam sejarah Aceh.
- Banyak dari pelajar dan pedagang pendatang ini akhirnya menetap di Aceh dan menikah dengan wanita lokal.
- Hal ini menyebabkan adanya pembauran budaya.
- Hingga saat ini, budaya-budaya masih menyisakan pemandangan di sudut-sudut kota Banda Aceh.
Misalnya di Budaya Pecinan di Gampong Peunayong dan peninggalan kuburan Turki di Gampong Bitai.
Kota Serambi Mekah di Indonesia?
Menurut ulama ini, Aceh merupakan tempat istimewa lagi dimuliakan oleh Allah SWT. Munculnya kata Serambi Mekkah ini diawali dari para jamaah haji seluruh Nusantara berteduh dan berkumpul di Aceh.
Apa sebab runtuhnya Kerajaan Aceh?
Masa Kemunduran – Kemunduran Kesultanan Aceh disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya ialah makin menguatnya kekuasaan Belanda di pulau Sumatra dan Selat Malaka, ditandai dengan jatuhnya wilayah Minangkabau, Siak, Tiku, Tapanuli, Mandailing, Deli, Barus (1840) serta Bengkulu kedalam pangkuan penjajahan Belanda. Diplomat Aceh di Penang, Duduk: Teuku Kadi Malikul Adil (kiri) dan Teuku Imeum Lueng Bata (kanan). Sekitar tahun 1870-an Hal ini bisa ditelusuri lebih awal setelah kemangkatan Sultan Iskandar Tsani hingga serangkaian peristiwa nantinya, dimana para bangsawan ingin mengurangi kontrol ketat kekuasaan Sultan dengan mengangkat janda Iskandar Tsani menjadi Sultanah.
- Beberapa sumber menyebutkan bahwa ketakutan akan kembalinya Raja tiran (Sultan Iskandar Muda) yang melatar-belakangi pengangkatan ratu.
- Sejak itu masa damai terasa di Aceh, para Ulèëbalang bebas berdagang dengan pedagang asing tanpa harus melalui pelabuhan sultan di ibu kota,
- Lada menjadi tanaman utama yang dibudidayakan seantero pesisir Aceh sehingga menjadi pemasok utama lada dunia hingga akhir abad 19.
Namun beberapa elemen masyarakat terutama dari kaum wujudiyah menginginkan penguasa nanti adalah seorang laki-laki bergelar Sultan. Mereka mengklaim bahwa pewaris sah masih hidup dan tinggal bersama mereka di pedalaman. Perang saudara pecah, masjid raya, Dalam terbakar, kota Bandar Aceh dalam kegaduhan dan ketidak-tentraman.
Menindaklanjuti pertikaian ini, Kadhi Malikul Adil (semacam mufti agung) Tgk. Syech Abdurrauf As-Sinkily melakukan berbagai reformasi terutama perihal pembagian kekuasaan dengan terbentuknya tiga sagoe, Hal ini mengakibatkan kekuasaan sultanah/sultan sangat lemah dengan hanya berkuasa penuh pada daerah Bibeueh (kekuasaan langsung) semata.
Perang saudara dalam hal perebutan kekuasaan turut berperan besar dalam melemahnya Kesultanan Aceh. Pada masa Sultan Alauddin Jauhar Alamsyah ( 1795 – 1824 ), seorang keturunan Sultan yang terbuang Sayyid Hussain mengklaim mahkota kesultanan dengan mengangkat anaknya menjadi Sultan Saif Al-Alam.
Perang saudara kembali pecah namun berkat bantuan Raffles dan Koh Lay Huan, seorang pedagang dari Penang kedudukan Jauhar (yang mampu berbahasa Prancis, Inggris dan Spanyol) dikembalikan. Tak habis sampai disitu, perang saudara kembali terjadi dalam perebutan kekuasaan antara Tuanku Sulaiman dengan Tuanku Ibrahim yang kelak bergelar Sultan Mansur Syah (1857-1870).
Sultan Mansyur Syah berusaha semampunya untuk memperkuat kembali kesultanan yang sudah rapuh.
Mengapa Aceh diturunkan dari daerah istimewa menjadi karesidenan?
ACEH adalah suatu provinsi yang unik dan istimewa baik dalam perjalanan sejarah maupun pergolakannya. Namun dalam perjalanannya keistimewaan Aceh tergerus oleh perilaku manusia-manusia yang ada di dalamnya. Nilai-nilai istimewa yang menjadi simbol kebanggaan masyarakat Aceh masih jauh dari status yang namanya istimewa.
- Peran dan fungsi lembaga-lembaga adat sebagai wadah penyaluran dari entitas istimewa tersebut, masih belum berjalan secara maksimal.
- Eistimewaan di bidang agama, peradatan, pendidikan dan peran ulama dalam pengambilan kebijakan strategis di daerah terkesan hadir sebagai pelengkap dalam struktur organisasi kepemerintahan Aceh.
Secara singkat dapat digambarkan bahwa pemberian status istimewa Aceh adalah untuk meredam konflik antara pemerintah pusat dan masyarakat Aceh, yang pada saat itu Aceh diturunkan statusnya menjadi keresidenan dan berada di bawah Provinsi Sumatera Utara.
- Hal lainnya adalah adanya keinginan (alm) Tgk Daud Beureueh agar syariat Islam ditegakkan di bumi Serambi Mekkah.
- Hal ini menjadi satu pertimbangan lahirnya Keputusan Perdana Menteri RI No.I/Missi/1959 yang kemudian dikenal Missi Hardi, tentang pemberian status istimewa kepada Aceh dengan sebutan Propinsi Daerah Istimewa Aceh.
Berdasarkan keputusan ini, Aceh ditetapkan sebagai daerah istimewa yang meliputi keistimewaan bidang agama, peradatan dan pendidikan.