Daerah Aceh yang terletak di bagian paling barat gugusan kepulauan Nusantara, menduduki posisi strategis sebagai pintu gerbang lalu lintas perniagaan dan kebudayaan yang menghubungkan Timur dan Barat sejak berabad-abad lampau. Aceh sering disebut-sebut sebagai tempat persinggahan para pedagang Cina, Eropa, India dan Arab, sehingga menjadikan daerah Aceh pertama masuknya budaya dan agama di Nusantara.
Pada abad ke-7 para pedagang India memperkenalkan agama Hindu dan Budha. Namun peran Aceh menonjol sejalan dengan masuk dan berkembangnya agama Islam di daerah ini, yang diperkenalkan oleh pedagang Gujarat dari jajaran Arab menjelang abad ke-9. Menurut catatan sejarah, Aceh adalah tempat pertama masuknya agama Islam di Indonesia dan sebagai tempat timbulnya kerajaan Islam pertama di Indonesia, yaitu Peureulak dan Pasai.
Kerajaan yang dibangun oleh Sultan Ali Mughayatsyah dengan ibukotanya di Bandar Aceh Darussalam (Banda Aceh sekarang) lambat laun bertambah luas wilayahnya yang meliputi sebagaian besar pantai Barat dan Timur Sumatra hingga ke Semenanjung Malaka. Kehadiran daerah ini semakin bertambah kokoh dengan terbentuknya Kesultanan Aceh yang mempersatukan seluruh kerajaan-kerajaan kecil yang terdapat di daerah itu.
- Dengan demikian kesultanan Aceh mencapai puncak kejayaannya pada permulaan abad ke-17, pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda.
- Pada masa itu pengaruh agama dan kebudayaan Islam begitu besar dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Aceh, sehingga daerah ini mendapat julukan ” Seuramo Mekkah” (Serambi Mekkah).
Keadaan ini tidak berlangsung lama, karena sepeninggal Sultan Iskandar Muda para penggantinya tidak mampu mempertahankan kebesaran kerajaan tersebut. Sehingga kedudukan daerah ini sebagai salah satu kerajaan besar di Asia Tenggara melemah. Hal ini menyebabkan wibawa kerajaan semakin merosot dan mulai dimasuki pengaruh dari luar.
Kesultanan Aceh menjadi incaran bangsa Barat yang ditandai dengan penandatanganan Traktat London dan Traktat Sumatera antara Inggris dan Belanda mengenai pengaturan kepentingan mereka di Sumatera. Sikap bangsa Barat untuk menguasai wilayah Aceh menjadi kenyataan pada tanggal 26 Maret 1873, ketika Belanda menyatakan perang kepada Sultan Aceh.
Tantangan yang disebut ‘Perang Sabi’ ini berlangsung selama 30 tahun dengan menelan jiwa yang cukup besar tersebut memaksa Sultan Aceh terakhir, Twk. Muhd. Daud untuk mengakui kedaulatan Belanda di tanah Aceh. Dengan pengakuan kedaulatan tersebut, daerah Aceh secara resmi dimasukkan secara administratif ke dalam Hindia Timur Belanda (Nederlansch Oost-Indie) dalam bentuk propinsi yang sejak tahun 1937 berubah menjadi karesidenan hingga kekuasaan kolonial Belanda di Indonesia berakhir.
Contents
Suku Aceh termasuk ras apa?
Kesimpulan: Etnik Aceh berasal dari ras Mongoloid subras Deutero- Melayid mempunyai profil jaringan lunak dan keras wajah lurus (orthognathi), sama seperti ras Kaukasian.
Apakah orang Aceh orang Melayu?
Tulisan di bawah ini bukan tulisan saya, tapi sebuah tulisan dari Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad, seorang antropolog yang tinggal di Banda Aceh yang mengkritisi kesediaan Nazar, Wakil Gubernur Aceh untuk menerima gelar kebangsawanan dari pemerintah Malaysia,
Saya mempost tulisan ini di sini karena saya mengharapkan tanggapan dari rekan kita Nazri,12 December 2009, 09:44 Melayukah Aceh atau Acehkah Melayu? Oleh Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad Opini/Serambinews PEMERINTAH Malaysia memberi anugerah Tun Perak kepada wakil pemerintahan Aceh (Wagub Muhammad Nazar).
Ini mengingatkan saya pada Manohara ketika diberikan gelar bangsawan oleh pihak Kraton di Jawa Tengah. Bedanya memang cukup signifikan, Muhammad Nazar dalam budaya Melayu, sedang Manohara dalam budaya Jawa. Saya tidak ingin mengomentari gelar Tun Perak juga pidato Wagub yang dimuat utuh Harian Aceh (8/12/2009), sebab itu sebagai satu peristiwa sejarah bagi pemerintahan Aceh era IRNA (Irwandi dan Nazar).
Justru yang menarik adalah upaya Malaysia untuk terus menerus menganggap Aceh sebagai Melayu. Pada saat yang sama, konsep Melayu di Malaysia sendiri masih bermasalah. Usaha Malaysia ini berhasil ketika beberapa tahun terakhir selalu melibatkan Aceh untuk mempertahankan identitas Melayu-Tradisional mereka.
Sebab, di dalam konstitusi Malaysia, definisi Melayu adalah (1) yang berbahasa Melayu; (2) beragama Islâm; (3) lahir sebelum 1957 di Malaysia. Dari definisi ini kelihatan bahwa Aceh sama sekali bukan Melayu di dalam konteks konstitusi Malaysia, kecuali beberapa orang Aceh yang lahir di Malaysia.
- Bahkan beberapa keluarga mereka sama sekali masih berbahasa Aceh (bukan bahasa Melayu!) baik sesama keturunan Aceh atau di dalam keluarga mereka sendiri.
- Ini mirip dengan keluarga Jawa di Johor yang masih menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa sehari-hari.
- Di Malaysia ada sebutan cukup rasis dalam mengeluarkan dari suku melayu, seperti indon (untuk orang Indonesia), mamak (untuk orang India), bangla (untuk orang Bangladesh).
Sementara bagi orang Cina yang baru masuk Islâm dipanggil dengan istilah mat soh. Adapun untuk orang kulit putih dikenal dengan sebutan mat saleh. Demikianlah sikap rasis negeri Melayu ini terhadap para pendatang. Sehingga muncul istilah baru bagi orang Melayu di Malaysia yaitu Other Malays (orang Melayu yang lain) yang menerima sikap rasis dari Melayu versi konstitusi.
Menarik lagi ketika beberapa tahun terakhir, Malaysia selalu ‘mengajak’ Aceh sebagai bagian dari peradaban Melayu pra-kemerdekaan mereka. Sehingga para pemimpin Aceh bangga sekali dengan ajakan ini. Bahkan pernah digelar konggres Melayu Raya di Banda Aceh. Pemerintah Malaysia sama sekali sudah meninggalkan konsep ini dengan mengedepankan istilah identitas baru yakni Malaysia is Truly Asia (Malaysia adalah benar-benar Asia).
Karena kemesraan sejarah inilah seolah-olah Aceh dan Melayu adalah satu. Bahkan pandangan yang paling lazim adalah bahasa Pasai sebagai bahasa Peradaban Melayu. Upaya yang dilakukan oleh Malaysia ini pernah diterapkan pada negeri Pattani, namun gagal karena konflik yang berkepanjangan di kawasan tersebut, sehingga akar Melayu yang diinginkan oleh Malaysia tidak begitu berhasil.
Apa gelar bangsawan di Aceh?
Teuku – Gelar Teuku adalah gelar bangsawan yang diperuntukkan khusus untuk kaum pria dari suku Aceh yang masih keturunan sultan atau pemimpin nanggroe (negeri). Gelar Teuku menerapkan budaya patrilineal, di mana gelar tersebut dapat diperoleh seorang anak laki-laki apabila sang ayah juga bergelar Teuku.
Ada yang menyebutkan agar keturunan mereka tetap memiliki gelar, maka seorang Teuku juga harus menikah dengan perempuan bangsawan, salah satunya yang bergelar Cut. Seorang yang memiliki gelar Teuku dipandang baik oleh masyarakat Aceh, karena termasuk strata berderajat tinggi, berpendidikan, dan sangat taat pada agama.
Salah satu tokoh pejuang Indonesia yang bergelar Teuku adalah Teuku Umar, karena ia adalah seorang ningrat dari kerajaan kecil di Aceh Barat. Referensi:
Atmosiswartoputra, Mulyono. (2018). Perempuan-perempuan Pengukir Sejarah, Jakarta: Bhuana Ilmu Populer. Maula, Ikhwan. (2020). Cinta Untuk Istana di Surga, Jawa Timur: CV Prabu Dua Satu. Muspratomo, Cindy. Daniel Widya Suryanata. dkk. (2015). Perempuan Madu dalam Kandang, Antologi Puisi Esai. Jakarta: Cerah Budaya Indonesia.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram “Kompas.com News Update”, caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
Apakah orang Aceh setia?
Sejak kapankah suku Aceh mulai dikenal di Indonesia dan dunia? Mengingat banyaknya suku yang berada dalam Privinsi Aceh kelihatannya terlalu rumit menjawab pertanyaan di atas. Menurut beberapa catatan, di dalam Provinsi Aceh kini dihuni oleh 4,5 juta jiwa (2013), terdiri dari 13 suku dan 13 aneka macam bahasa suku, tentunya tidak termasuk bahasa wajib Indonesia.
Jika setuju, mari kita tarik benang merah saja, dimulai dari masa keemasan Aceh pada abad ke 14 di mana saat itu kerajaan Samudera Pasai (Pase) menjadi wilayah paling kuat dalam militer, politik dan ekonomi di selat Malaka sebelum akhirnya hancur dan digantikan oleh Kesulthanan Aceh lebih modern dan kuat pada abad ke 17.
Apa dan bagaimana perilaku dan tabiat orang Aceh yang telah mendahului kita ratusan tahun lalu sehingga mereka mampu membuat Aceh menjadi bangsa atau suku yang terhormat oleh kawan dan lawannya? Apa ciri-ciri dan karakter para nenek moyang dan indatu kita sehingga mampu mengangkat harkat dan martabad Aceh menjadi kerajaan yang terkenal dan maju dissalah satu sudut muka bumi ini? Pertanyaan di atas tidak berarti kondisi Aceh saat ini lantas berantakan, mundur, tidak maju atau membingungkan.
- Tidak seperti itu.
- Ondisi saat ini justru telah maju sehingga kita mampu memberi analisa dan pandangan serta pengamatan terhadap sejarah Aceh untuk menghargai para pendahulu Aceh yang telah memberi segalanya untuk para penerusnya masa kini.
- Melihat pada nama Aceh berasal dari tulisan “ATJEH” (ejaan lama dan ejaan dalam bahasa Aceh) mari kita kaitkan dengan sejumlah ciri-ciri orang Aceh yang dapat dilihat pada aneka sejarah dan kebudayaan Aceh dari masa abad ke 14 hingga masa kini,
Oleh karenanya ciri-cir orang Aceh (Atjeh) adalah sebagai berikut : A = Agamais.
Orang Aceh terkenal taat menjalankan agama dan mempertahankan syariat agamanya. Meski sama dengan sejumlah muslimin dan muslimah lainnya yang membedakannya adalah peranan pemerintah memberi jaminan dan mendukung melestarikan prinsip agama (Islami) di wilayah Aceh. Orang Aceh menjunjung tinggi kebebasan beragam ummat lainnya dan menghormati pemeluk agama lainnya selama saling menghormati.
T = Taat atau Patuh
- Orang Aceh terkenal setianya jika sudah mengenal baik atasan, teman, tetangga dan lingkungannya. Mereka akan patuh dan taat menjalankan tugas-tugasnya. Orang Aceh terkenal taat pada Syariat dengan menjauhi larangan Allah dan menjalankan perintah Allah. Orang Aceh terkenal taat hukum dan aturan yang dibuat oleh Kerajaan pada masa lalu dan peraturan pemerintah pada masa-masa kemerdekaan RI. Orang Aceh patuh pada pimpinannya termasuk terhadap pemimpin wanita sekalipun seperti yang diperlihatkan terhadap Laksamana Kuemalahayati, Cut Meutia, Cut Nya’ Dhien dan lain-lainnya. Orang Aceh juga terkenal banyak akalnya, cerdik dan tidak gampang menyerah. Jika diarahkan pada hal-hal positif sikap ini akan menjadi modal utama sebagai individu yang handal dan tangguh di segala bidang. Akan tetapi jika mengarah pada hal-hal negatif, maka sikap ini disebut “licik” atau akal bulus.
Kenapa Minang bukan Melayu?
Kalau Melayu yang dimaksud adalah SUKU BANGSA MELAYU, Minangkabau JELAS BUKAN Melayu, karena dari sistem kekerabatan Minangkabau punya klan/marga (dalam Bahasa Minang, klan/marga disebut suku) dan garis kekerabatan berada di pihak perempua.
Apa saja suku yang ada di Aceh?
Provinsi Aceh terdiri dari 23 Kabupaten, 13 suku dan memiliki 11 bahasa daerah. BPCB Aceh : Aceh adalah sebuah Provinsi yang terletak pada bagian Barat paling ujung Pulau Sumatera di wilayah Indonesia, banyak meyimpan ragam kekayaan budaya, suku, adat dan ragam bahasa.
Bahasa Aceh
Bahasa Aceh adalah bahasa yang digunakan masyarakat aceh sehari-hari yang memiliki penutur paling banyak dibandingkan dengan bahasa daerah Aceh lainnya. Masyarakat suku Aceh yang menggunakan Bahasa Aceh pada umumnya dimengerti oleh suku lainnya di Aceh karena bahasa Aceh sebagai lambang kebanggaan masyarakat Aceh.
Bahasa Jamee ( Aneuk Jamee)
Bahasa Jamee atau bahasa Aneuk Jamee atau orang Aceh menyebut dengan bahasa Baiko adalah Bahasa yang umumnya dan mayoritas digunakan oleh masyarakat Kabupaten Aceh Selatan, Aceh Barat Daya dan sebagian kecil masyarakat Aceh Barat, Simeulue dan Singkil.
Bahasa Singkil
Kabupaten Aceh Singkil adalah salah satu kabupaten di Provinsi Aceh, Indonesia. Kabupaten ini merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Aceh Selatan pada tahun 1999 dan sebagian wilayahnya berada di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser. Terdiri dari dari dua wilayah, yakni daratan dan kepulauan Bahasa yang digunakan masyarakat di kabupaten Singkil ada beberapa bahasa yaitu bahasa Pakpak aslinya adalah bahasa dari propinsi Sumatera Utara, hanya saja karena Singkil termasuk salah satu kabupaten yang berbatasan dengan propinsi Sumatera Utara, terjadilah asimilasi antara kedua daerah ini.
Suku budaya khas daerah Aceh apa?
Asal Usul Etnis Aceh – liputan6.com Suku Aceh atau Ureueng Aceh merupakan nama etnis masyarakat asli yang bermukim di daerah pesisir, serta pedalaman Provinsi Aceh. Etnis Aceh memiliki beberapa nama lain, di antaranya adalah, lambri, Lam Muri, Achin, Akhir, Atse, A-tse, dan Asji.
Dalam sejarah disebutkan, bahwa etnis Aceh adalah keturunan dari beberapa suku berbeda yang menetap di daratan Aceh. Namun, kelompok masyarakat tersebut terikat dalam kesatuan adat dan budaya, yang melingkupi bahasa serta agama, sehingga terbentuklah sebuah suku. Penemuan arkeologis menunjukan bahwa penghuni terawal di Aceh dimulai dari periode pasca Plestosen.
Pada saat itu, masyarakat lokal menghuni pantai timur Aceh (Tamiang dan Langsa). Kemudian disusul dengan perpindahan Suku Mante, Lhan, Champa, Minang, dan Melayu. Dalam legenda rakyat Aceh disebutkan, bahwa masyarakat Aceh zaman awal berasal dari etnis asli Nusantara, yakni Suku Lanun, dan Suku Mante (kerabat Suku Gayo, Batak, dan Alas).