BERBEDA dari kebanyakan provinsi lain di Indonesia, Aceh memiliki keistimewaan sendiri. Sejak dulu hingga sekarang, Aceh merupakan daerah mayoritas muslim yang kini hidup dalam bingkai syariat Islam. Alasan sejarah membuat daerah ini memiliki otonomi sendiri.
Aceh dianggap sebagai tempat dimulainya penyebaran Islam di Indonesia dan di Asia Tenggara. Sejarah mencatat, sejak awal abad ke-17, Kesultanan Aceh adalah negara terkaya, terkuat, dan termakmur di kawasan Selat Malaka. Aceh pertama dikenal dengan nama Aceh Darussalam (1511-1959). Kemudian Daerah Istimewa Aceh (1959-2001), Nanggroe Aceh Darussalam (2001-2009), dan terakhir Aceh (2009-sekarang).
Sebelumnya, nama Aceh biasa ditulis Acheh, Atjeh, dan Achin. Sejak dulu, Aceh sudah sudah dikenal sebagai negeri yang melahirkan para wali dan ulama. Ada banyak ulama masyhur di Aceh yang kiprahnya sangat berpengaruh. Para ulama ini sangat dihormati karena dianggap berjasa dalam penyebaran Islam dan ilmu syariat. Syeikh Hamzah Fansuri adalah tokoh sufi terkenal di Aceh. Beliau lahir di Fansur Singkil, Aceh. Beliau hidup pada zaman pemerintahan Sultan Alaiddin Riayatsyah IV (1589 -1604 atau 997-1011 Hijriyah) hingga awal pemerintahan Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam.
Beliau merantau untuk menuntut ilmu hingga ke Jawa, Semenanjung Tanah Melayu, India, Parsi dan Semenanjung Arab. Beliau ahli dalam ilmu fiqh, tasawuf, falsafah, sastra, mantiq, sejarah dan lain-lain, serta fasih berbahasa Arab, Urdu, Parsi di samping bahasa Melayu dan Jawa. Syeikh Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani merupakan dua tokoh sufi yang sepaham dan hidup lebih dahulu dari dua ulama terkemuka lainnya yang pernah hidup di Aceh, yakni Abdurrauf Singkil Fansuri dan Nuruddin Ar-Raniry.
Riwayat hidupnya tidak banyak diketahui. Ia diperkirakan telah menjadi penulis pada masa kesultanan Aceh Sultan Alaiddin Riayatsyah IV. Beliau menyebutkan Sultan Alaiddin selaku sultan yang ke-4 dengan Sayyid Mukammil sebagai gelarnya. Syahr Nawi mengisyaratkan beliau lahir di tanah Aceh.
Onon saudara Hamzah Fansuri bernama Ali Fansuri yakni ayah dari Abdurrauf Singkil Fansuri. Ketika pengembaraannya selesai dari Kudus, Banten, Johor, Siam, India, Persia, Irak, Makkah dan Madinah, untuk mencari ilmu makrifat terhadap Allah SWT. Ia kembali ke Aceh dan mengajarkan ilmunya. Mula-mula ia berdiam di Barus, lalu di Banda Aceh yang kemudian ia mendirikan Dayah (pesantren) di Oboh Simpang Kanan Singkil.
Di pesantren itulah (ada yang mengatakan antara Singkil dengan Rundeng) beliau dimakamkan tepatnya di sebuah pekuburan di desa itu.
Contents
- 1 Siapa nama ulama pertama di Aceh?
- 2 Siapa ulama Sultan Iskandar Tsani?
- 3 Syariat Islam di Aceh berlaku untuk siapa saja?
- 4 Kerajaan Aceh menganut agama apa?
- 5 Siapakah yang mengangkat Syekh Nuruddin ar Raniri menjadi Mufti kerajaan?
Siapa nama ulama di Aceh?
Lantas, siapa saja ulama kharismatik tersebut? Mereka adalah, Tgk H. Muhammad Amin (Abu Tumin) Blang Bladeh (Bireuen), Tgk.H. Usman Ali (Abu Kuta Kreueng), Tgk H. Muhammad Daud Ahmad (Abu Lueng Angen), Tgk H. Muhammad Ali (Abu Paye Pasie), Tgk H. Judin Tahmad Lc (Gayo Lues), Tgk HM Yusuf A. Wahab (Tu Sop Jeunieb).
Siapa nama ulama pertama di Aceh?
baca juga: –
Sandiaga Beri Kenang-kenangan ke Syaiful Anwar di Aceh Densus 88 Tangkap 17 Tersangka Teroris di Wilayah Aceh, Sumut, dan Riau Densus 88 Tangkap 13 Tersangka Teroris Jaringan JI dan JAD di Aceh
Pertama, Hamzah Fansuri. Ia adalah seorang ulama dan sufi besar pertama di Aceh. Beliau merupakan seorang penulis yang produktif yang mampu menghasilkan karya risalah keagamaan dan juga prosa yang sarat dengan ide-ide mistis. Selain itu, beliau aktif menulis karya-karya tentang tasawuf pada paruh ke dua abad ke- 16.
Salain itu, beliau mampu menguasai bahasa Arab dan Parsi, serta bahasa Urdu. Paham tasawuf yang dibawanya adalah Wujudiyah, Kepopuleran nama Hamzah Fansuri tidak diragukan lagi, banyak pakar telah mengkaji keberadaan Hamzah yang sangat populer melalui karya-karyanya yang monumental. Adapun karya-karya Hamzah Fansuri antara lain: 1).
Syarab al-‘Asyiqin, yang merupakan risalah tasawuf pertama dalam bahasa Melayu yang merupakan ringkasan ajaran faham wujudiyah sebagai pengantar memahami ilmu suluk,2). Asrar al-‘Arifin, merupakan pandangan falsafahnya tentang metafisika dan teologi sufi, dengan cara menafsirkan untaian syair-syair karangannya menggunakan metode hermeneutika sufi ( ta’wil ).3).
- Al Muntahi, merupakan risalah tasawufnya yang paling ringkas namun padat, yang menguraikan pandangan Hamzah Fansuri mengenai ucapan-ucapan syatahat ( teofani ) sufi yang sering menimbulkan perdebatan di kalangan ulama.
- Edua, yaitu Syamsudin al-Sumatrani, yang merupakan sufi besar yang muncul di Aceh sesudah Hamzah Fansuri.
Ia juga dikenal sebagai Syamsudin Pasai karena berasal dari Pasai. Sebagai penulis risalah tasawuf dia lebih produktif daripada pendahulunya itu. Banyak mengarang kitabnya dalam bahasa Melayu dan Arab. Ketiga, yaitu Nuriddi Ar-Raniri, yang merupakan ulama dan sastrawan dari Ranir.
- Ia lahir pada tahun 1568 M.
- Di sebuah kota pelabuhan di pantai Gujarat.
- Windstedt, 1968: 145; Ahmad Daudy, 1983: 49).
- Ayahnya berasal dari keluarga imigran Hadhramaut.
- Sedangkan ibunya adalah seorang Melayu.
- Ar-Raniri lebih dikenal sbagai ulama besar Melayu-Indonesia daripada India dan Arab.
- Eempat, yaitu Abdul Rauf bin Ali al-Jawi al-Fansuri al-Singkili.
Ia adalah seorang ulama besar Aceh yang terakhir. Ia lahir di Fansur, dan dibesarkan di Singkel, wilayah pantai Barat-Laut Aceh. Diperkirakan, ia lahir pada tahun 1615 M. Ayahnya, Syech Ali Fansuri, masih bersaudara dengan Syech Hamzah Fansuri. Wallahu A’lam
Siapa sastrawan yang terkenal dari Kerajaan Aceh Darussalam?
Kesultanan Aceh Darussalam memiliki kehidupan budaya yang maju, contohnya dalam bidang sastra. Sastrawan terkenal pada di Kesultanan Aceh Darussalam adalah Hamzah Fansuri dan Nuruddin Ar-Raniry. Hamzah Fansuri adalah seorang sastrawan yang hidup pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda.
- Beberapa karya Hamzah Fansuri yang berupa prosa adalah Asrarul Arifin, Sharabul Asyikin, dan Kitab al-Muntahi atau Zinatul Muwahidin,
- Esultanan Aceh Darussalam memiliki kehidupan budaya yang maju, contohnya dalam bidang sastra.
- Sastrawan terkenal pada di Kesultanan Aceh Darussalam adalah Hamzah Fansuri dan Nuruddin Ar-Raniry.
Hamzah Fansuri adalah seorang sastrawan yang hidup pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Beberapa karya Hamzah Fansuri yang berupa prosa adalah Asrarul Arifin, Sharabul Asyikin, dan Kitab al-Muntahi atau Zinatul Muwahidin,
Siapa ulama Sultan Iskandar Tsani?
Sultan Iskandar Tsani Alauddin Mughayat Syah (meninggal tahun 1641) merupakan Sultan Aceh ketiga belas, menggantikan Sultan Iskandar Muda. Iskandar Tsani adalah putera dari Sultan Pahang, Ahmad Syah, yang dibawa ke Aceh ketika Aceh menguasai Pahang pada tahun 1617 oleh Sultan Iskandar Muda.
Siapakah seorang ahli tasawuf yang menyebarkan agama Islam di Aceh?
BERBEDA dari kebanyakan provinsi lain di Indonesia, Aceh memiliki keistimewaan sendiri. Sejak dulu hingga sekarang, Aceh merupakan daerah mayoritas muslim yang kini hidup dalam bingkai syariat Islam. Alasan sejarah membuat daerah ini memiliki otonomi sendiri.
- Aceh dianggap sebagai tempat dimulainya penyebaran Islam di Indonesia dan di Asia Tenggara.
- Sejarah mencatat, sejak awal abad ke-17, Kesultanan Aceh adalah negara terkaya, terkuat, dan termakmur di kawasan Selat Malaka.
- Aceh pertama dikenal dengan nama Aceh Darussalam (1511-1959).
- Emudian Daerah Istimewa Aceh (1959-2001), Nanggroe Aceh Darussalam (2001-2009), dan terakhir Aceh (2009-sekarang).
Sebelumnya, nama Aceh biasa ditulis Acheh, Atjeh, dan Achin. Sejak dulu, Aceh sudah sudah dikenal sebagai negeri yang melahirkan para wali dan ulama. Ada banyak ulama masyhur di Aceh yang kiprahnya sangat berpengaruh. Para ulama ini sangat dihormati karena dianggap berjasa dalam penyebaran Islam dan ilmu syariat. Syeikh Hamzah Fansuri adalah tokoh sufi terkenal di Aceh. Beliau lahir di Fansur Singkil, Aceh. Beliau hidup pada zaman pemerintahan Sultan Alaiddin Riayatsyah IV (1589 -1604 atau 997-1011 Hijriyah) hingga awal pemerintahan Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam.
Beliau merantau untuk menuntut ilmu hingga ke Jawa, Semenanjung Tanah Melayu, India, Parsi dan Semenanjung Arab. Beliau ahli dalam ilmu fiqh, tasawuf, falsafah, sastra, mantiq, sejarah dan lain-lain, serta fasih berbahasa Arab, Urdu, Parsi di samping bahasa Melayu dan Jawa. Syeikh Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani merupakan dua tokoh sufi yang sepaham dan hidup lebih dahulu dari dua ulama terkemuka lainnya yang pernah hidup di Aceh, yakni Abdurrauf Singkil Fansuri dan Nuruddin Ar-Raniry.
Riwayat hidupnya tidak banyak diketahui. Ia diperkirakan telah menjadi penulis pada masa kesultanan Aceh Sultan Alaiddin Riayatsyah IV. Beliau menyebutkan Sultan Alaiddin selaku sultan yang ke-4 dengan Sayyid Mukammil sebagai gelarnya. Syahr Nawi mengisyaratkan beliau lahir di tanah Aceh.
- Onon saudara Hamzah Fansuri bernama Ali Fansuri yakni ayah dari Abdurrauf Singkil Fansuri.
- Etika pengembaraannya selesai dari Kudus, Banten, Johor, Siam, India, Persia, Irak, Makkah dan Madinah, untuk mencari ilmu makrifat terhadap Allah SWT.
- Ia kembali ke Aceh dan mengajarkan ilmunya.
- Mula-mula ia berdiam di Barus, lalu di Banda Aceh yang kemudian ia mendirikan Dayah (pesantren) di Oboh Simpang Kanan Singkil.
Di pesantren itulah (ada yang mengatakan antara Singkil dengan Rundeng) beliau dimakamkan tepatnya di sebuah pekuburan di desa itu.
Syariat Islam di Aceh berlaku untuk siapa saja?
Isi – Qanun No.6 tahun 2014 (juga disebut “Qanun Jinayat”) adalah perda terbaru yang mengatur hukum pidana Islam di Aceh. Perda ini melarang konsumsi dan produksi minuman keras (khamar), judi (maisir), sendirian bersama lawan jenis yang bukan mahram (khalwat), bermesraan di luar hubungan nikah ( ikhtilath ), zina, pelecehan seksual, pemerkosaan, menuduh seseorang melakukan zina tanpa bisa menghadirkan empat saksi ( qadzaf ), sodomi antar lelaki ( liwath ), dan hubungan seks sesama wanita ( musahaqah ) Hukuman bagi mereka yang melanggar bisa berupa hukuman cambuk, denda, dan penjara.
- Beratnya hukuman tergantung pada pelanggarannya.
- Hukuman untuk khalwat adalah yang paling ringan, yaitu hukuman cambuk sebanyak maksimal 10 kali, penjara 10 bulan, atau denda 100 gram emas,
- Hukuman paling berat adalah untuk pemerkosa anak; hukumannya 150-200 kali cambuk, 150-200 bulan penjara, atau denda sebesar 1.500-2.000 gram emas).
Yang menentukan hukuman mana yang akan dijatuhkan adalah hakim. Menurut Amnesty International, pada tahun 2015 hukuman cambuk dilaksanakan sebanyak 108 kali, dan dari Januari hingga Oktober 2016 sebanyak 100 kali. Mahkamah Syar’iyah Aceh mempertimbangkan perkara pidana dan perdata yang menggunakan hukum Islam. Hukum ini berlaku untuk semua orang Muslim ataupun badan hukum di Aceh. Hukum ini juga berlaku untuk kaum non-Muslim jika kejahatannya tidak diatur oleh Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, atau jika dilakukan bersama dengan seorang Muslim dan pihak non-Muslim secara sukarela memilih hukum Islam.
Pada April 2016, seorang wanita Kristen dicambuk 28 kali karena telah menjual minuman keras; ia adalah orang non-Muslim pertama yang dijatuhi hukuman cambuk berdasarkan qanun ini. Lembaga-lembaga yang terkait dengan penerapan hukum jinayat di Aceh adalah Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU), Wilayatul Hisbah (atau “polisi syariat”), dan Mahkamah Syar’iyah,
MPU terlibat dalam proses perumusan perda bersama dengan pemerintah. Namun, pada praktiknya perda dirumuskan ole DPRA dan kantor gubernur. Wilayatul Hisbah memiliki wewenang untuk menegur mereka yang tertangkap telah melanggar hukum Islam. Mereka tidak punya wewenang untuk menangkap atau mendakwa tersangka, sehingga mereka harus bekerja sama dengan polisi dan jaksa untuk menegakkan hukum.
Kerajaan Aceh menganut agama apa?
Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) merupakan provinsi paling barat di Indonesia dan terletak di ujung utara Pulau Sumatera. Masyarakat Aceh terkenal sangat religius dan memiliki budaya yang kental dengan ajaran Islam. Ini tidak mengherankan mengingat kota serambi mekah merupakan daerah pertama masuknya agama Islam di wilayah Indonesia.
- Disini jugalah Kerajaan Islam seperti Kesultanan Aceh berdiri.
- Pada awalnya, Kesultanan Aceh Darussalam hanyalah sebuah kerajaan kecil.
- Di masa kepemimpinan Ali Mughayat Syah, kerajaan ini berkembang dan disegani.
- Saat itu tepatnya setelah melepaskan diri dari kekuasaan Kerajaan Pidie pada tahun 1530.
- Meski begitu, kejayaan Kesultanan Aceh ini baru terealisasi setelah masuknya pemerintahan Sultan Iskandar Muda.
Dimana, ia berhasil memperluas daerah kekuasaannya sampai ke Deli, Bintan, Kampar, Pariaman, minangkabau, perak, pahang, dan kedah. Kekuataan Aceh Darussalam bertumpu pada ketangguhan armada maritimnya. Pada tahun 1636, Sultan Iskandar Muda mangkat dan digantikan oleh menantunya, Sultan Iskandar Thani (1636-1641).
Pemerintahan Alaudin al-Kahar
Pada masa pemerintahannya, Aceh Darussalam menyerang Kesultanan Johor dan berhasil menangkap Sultan Johor. Namun Kerajaan itu tidak berhasil ditaklukan. Baca juga: Mengenal Lebih Jauh Kerajaan Perlak
Pemerintahan Alaudin Riayat Syah
Pada masa ini datang armada dagang Belanda yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman untuk meminta ijin berdagang di Aceh.
Pemerintahan Ali Riayat (Sultan Muda)
Pada masa ini Aceh Darussalam dapat membendung serangan Portugis yang berniat menerapkan monopoli perdagangan di Aceh.
Pemerintahan Iskandar Thani
Pada masa pemerintahan Iskandar Thani, kebijakan pemerintahan lebih mengutamakan konsolidasi dalam negeri. Pembangunan digalakan, hukum syariat ditegakan, dan hubungan dengan wilayah taklukan tanpa tekanan politik ataupun militer. Aceh Darussalam berada dalam suasana damai sehingga ilmu pengetahuan tentang Islam berkembang pesat.
- Emajuan ini didukung oleh kehadiran Nurudin ar-Raniri seorang pemimpin tarekat dari Gujarat.
- Edekatannya dengan Iskandar Thani membuat tokoh ini diangkat sebagai penasehat sultan.
- Aceh Darussalam sempat diperintah oleh 4 pemimpin wanita (Sultanah) yaitu; Safiatuddin Tajul Alam, Sri Ratu Naqiyatuddin Nurul Alam, Inayat Syah, dan Kamalat Syah.
Sejak turun fatwa dari Mekah yang melarang pemimpin wanita Aceh Darussalam pun di pimpin oleh pria saja. Kehidupan Sosial Budaya Untuk mengatur sistem kenegaraan Kerajaan Aceh, pada masa kekuasaan Sultan Iskandar Muda disusunlah hukum adat yang dilandasi hukum islam yang disebut hukum adat Makuta Alam.
Siapakah yang mengangkat Syekh Nuruddin ar Raniri menjadi Mufti kerajaan?
Sultan Iskandar Tsani berasal dari negeri jiran Malaysia. Namun beliau tidak lama menjadi Raja Aceh, karena empat tahun sesudahnya beliau wafat pada tahun 1641. Pada masa Sultan Iskandar Tsani menjadi raja, Syekh Nuruddin al- Raniry diangkat menjadi mufti kerajaan Aceh.
Dari mana asal Hamzah Fansuri?
Catatan Kaki Jodhi Yudono Sudah empat abad lalu dia pergi, tapi namanya masih tetap harum hingga kini. Selain disebut sebagai penyair pertama Indonesia oleh A. Teeuw, Hamzah Fansuri juga meninggalkan ajaran sufisme yang tersebar ke berbagai daerah. Lantaran ajaran sufismenya yang berkiblat ke tarekat wahdatul wujud itulah, perjalanan hidup Hamzah juga cukup berliku.
- Maka seperti kisah hidupnya yang ‘kontroversial’, kematiannya pun dibumbui kontroversi yang tak kalah serunya.
- Itulah sebabnya, jika ditanya di manakah gerangan makam Hamzah Fansuri, maka ada beberapa pendapat yang menyertainya.
- Yang pertama akan berkata, makamnya terletak di Desa Oboh, Kecamatan Runding, Kota Subulussalam, sekitar 14 kilometer dari Kota Subulussalam, Aceh Selatan yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Sidikalang, Sumatera Utara, atau sekitar tujuh jam perjalanan darat dari Medan.
Makam satunya lagi berada di Desa Ujung Pancu, Kecamatan Pekan Bada, Kabupaten Aceh Besar. Namun menurut cerita yang diturunkan dari generasi ke generasi, Syaikh Hamzah Al Fansuri pernah tinggal di kedua tempat itu dan meninggalnya pun di klaim berada di kedua tempat itu pula.
- Makam lainnya, konon berada di Langkawi, Malaysia.
- Pendapat terakhir mengatakan, makam Hamzah Fansuri berada di Makkah.
- Namun, dari berbagai pendapat mengenai letak makam sang Syekh yang mashur itu, konon yang patut dipercaya adalah yang berada di Desa Oboh yang juga terkenal dengan sebutan makam Mbah Oboh.
Karena, meski sama-sama tak memiliki bukti kuat berupa catatan sejarah, namun dari kisah ‘orang-orang dulu’, makam di Desa Oboh kiranya yang lebih diakui oleh pemerintah, dengan bukti pemberian anugerah kebudayaan. Penyair dan ahli tasawuf Aceh abad ke 17 tersebut, Selasa (13/8/2013) lalu mendapat anugerah Bintang Budaya Parama Dharma, yang diserahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam acara penganugerahan Bintang Maha Putera, dan Tanda Jasa di Istana Negara.
- Selain itu, menurut juru kunci sebelumnya, Abdullah (66), nenek moyangnya yang dulu juga juru kunci di makam tersebut tidak banyak mengetahui perihal riwayat Mbah Oboh.
- Selain dikenal sebagai ahli fikih dan suluk dari Barus dan pernah bekerja di Istana Kerajaan Aceh, Abdullah dan warga sekitar makam hanya mengetahui satu kisah legenda tentang Mbah Oboh.
“Mengapa memilih dikubur di sini, karena saat beliau menanam padi sekaleng, panennya pun sekaleng. Saat di Kutaraja (sekarang Banda Aceh), menanam padi sekaleng, panennya ratusan kaleng. Beliau berkesimpulan, di sinilah tanah kejujuran,” kata dia. Makamnya di Desa Oboh hanya berbentuk gundukan tanah bertabur kerikil dan dikungkung kain putih yang sebagian terlihat kusam karena terkena tanah liat.
- Ain putih itu dipadu kain hijau berisi kaligrafi tulisan asma Allah.
- Gundukan tanah tadi adalah makam Syekh Hamzah Fansuri, salah satu ulama legendaris Aceh.
- Makam itu terawat rapi dalam bangunan kecil.
- Sebuah sungai mengalir tak jauh dari sisi kiri makam.
- Di tempat itu, tak hanya Syekh Hamzah Fansuri yang dimakamkan.
Di sekitarnya ada tiga makam lagi, yakni sahabat dan mertua Fansuri.
Siapakah yang dimaksud dengan Hamzah Fansuri?
TAK banyak sejarah yang menukil seorang maestro peradaban yang tidak hanya dikenal di timur tapi juga di Barat. Dia Hamzah Fansuri, ulama yang pujangga nusantara. Dalam karya-karyanya ditemukan kunci peradaban satu kaum (Aceh).
Siapakah nama ulama pada masa Sultan Iskandar Tsani yang memerangi paham wujudiyah?
ULAMA-ULAMA PENYIAR ISLAM AWAL DI ACEH, (Abad 16-17M)dahlia Pendahuluan Sumber-sumber sejarah tentang kegitan islamisasi di Nusantara ini sangat sedikit, dan secara keseluruhan catatan-catatan sejarah tentang pengislaman di dalam literatur dan tradisi melayu masih simpang siur dan beragam keterangannya.
- Oleh karena itu, banyak hal-hal yang sukar terpecahkan sehingga sejarah di Nusantara banyak yang bersifat perkiraan.
- Mencari ketepatan kapan masuknya Islam ke Nusantara sangat sulit.
- Menentukan masuknya Islam di Nusantara biasanya dikaitkan dengan kegiatan perdagangan antara dunia Arab dengan Asia Timur.
Banyak yang memperkirakan bahwa kontak antara Nusantara dengan Islam terjadi sejak abad ke- 7 Masehi. Dalam seminar Sejarah Masuknya Islam yang berlangsung di Medan tahun 1963 yang dikukuhkan lagi dengan seminar Sejarah Islam di Banda Aceh tahun 1978 menyimpulkan bahwa masuknya Islam ke Nusantara abad ke-1 Hijriyah langsung dari tanah Arab.
Di samping itu ada juga yang berpendapat bahwa Islam masuk pada abad ke- 13 Masehi. Ada satu persoalan lain yang menjadi perdebatan dan sulit dipastikan adalah persoalan dimana Islam pertama sekali masuk. Ada yang mengatakan di Jaya, dan ada yang mengatakan di Barus, namun demikian ahli sejarah sependapat bahwa Islam masuk ke Nusantara melalui pesisir Sumatera Utara, yaitu melalui Samudera Pasai (Aceh).
Sebagaimana yang terjadi di daerah-daerah lain di Asia Tenggara, Islam tersebar di Nusantara melalui tiga metode, yaitu pengislaman oleh pedagang Muslim melalui jalur perdagangan yang damai, oleh para da’i yang datang ke Indonesia, dan dengan melalui kekuasaan.
Pengislaman yang dilakukan oleh para pedagang terjadi sejak kontak paling awal antara Islam dengan daerah-daerah pesisir pantai Sumatera Utara. Pantai Sumatera Utara merupakan pesinggahan saudagar-saudagar Muslim yang menuju ke asia Timur melalui Selat Malaka. Mereka yang singgah di pesisir Sumatera Utara membentuk masyarakat muslim.
Tidak tertutup kemungkinan di antara mereka menjalin hubungan perkawinan dengan penduduk pribumi atau menyebarkan Islam sambil berdagang, sehingga lama kelamaan penduduk setempat memeluk Islam. Kegiatan pengislaman berikutnya dilakukan oleh ulama-ulama yang turut dalam kapal-kapal dagang.
- Mereka mempunyai tujuan khusus untuk menyebarkan Islam.
- Tome Pires, yang pernah mengunjungi Pasai, menceritakan dalam bukunya Suma Oriental bahwa banyak orang Moor tersebut, (istilah dalam bahasa Portugis untuk menyebut orang-orang yang terusir dari bumi Spanyol) dan di Filipina orang-orang Islam disebut bangsa Moro, yang menebar islam dan muncullah (ulama) yang berusaha keras dan mendorong Raja Pasai (Meurah Silu) masuk Islam.
Pernyataan masuk Islam seorang raja mempunyai nilai tersendiri bagi proses islamisasi. Tidak lama setelah itu, keislamannya akan diikuti oleh rakyat, dan berikutnya dilakukan penyebaran Islam melalui pemakluman perang terhadap kerajaan-kerajaan yang kafir.
Di tangan siapa Kerajaan Aceh pas jaya jayanya?
KOMPAS.com – Kerajaan Aceh adalah kerajaan Islam di Sumatera yang didirikan oleh Sultan Ali Mughayat Syah pada 1496 M. Meski begitu, Kesultanan Aceh baru menjadi penguasa setelah mengambil alih Samudera Pasai pada 1524 M, dan runtuh pada awal abad ke-20.
- Ibu kota Kerajaan Aceh terletak di Kutaraja atau Banda Aceh (sekarang).
- Erajaan ini mencapai puncak kejayaanya pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M).
- Di bawah kekuasaannya, Aceh berhasil menaklukkan Pahang yang merupakan sumber timah utama dan melakukan penyerangan terhadap Portugis di Melaka.
Selain itu, kejayaan Aceh tidak lepas dari letak kerajaannya yang strategis, yaitu di dekat jalur pelayaran dan perdagangan internasional.
Islam masuk ke Aceh tahun berapa?
Pemerintahan Aceh Ia menjelaskan, mengacu pada seminar tentang sejarah masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia yang telah digelar tiga kali yakni di Medan (1963), Banda Aceh (1978) dan Kuala Simpang (1980), disimpulkan bahwa Islam datang langsung dari Arab pada abad pertama Hijriah atau ke-7 Masehi.
Siapakah nama ulama yang pertama kali menyebarkan Islam di pantai barat?
Langgam.id – Sekitar empat abad berlalu, nama Syekh Burhanuddin Ulakan masih terawat dalam ingatan masyarakat Ranah Minang, Ia dicatat sebagai salah satu ulama generasi awal yang menyebarkan Islam di Minangkabau. Berbagai literatur mencatat beragam tahun kelahiran Syekh Burhanuddin.
- Namun, umumnya sekitar awal abad ke-17.
- Masoed Abidin dkk dalam “Ensiklopedi Minangkabau” (2010) menyebut tahun kelahirannya pada 1021 Hijriah.
- Sementara, Bustamam yang menulis profil Syekh Burhanuddin dalam “Riwayat Hidup Ulama Sumatera Barat dan Perjuangannya” (2001) menyebut tahun 1026 Hijriah.
- Duski Samad dalam “Syekh Burhanuddin Ulakan dan Islamisasi di Minangkabau” (2003) juga menyebut tahun 1026 H.
Saat dikonversi ke tahun Masehi, rentang 1021-1026 Hijriah tersebut diperkirakan antara tahun 1612-1617 Masehi, atau sekitar awal abad ke-17. Buku Ensiklopedi Minangkabau menulis, Burhanuddin lahir di Pariangan, Tanah Datar. Ayahnya bernama Pampak dari Suku Koto.
Sementara, ibunya Cukuik dari Suku Guci. “Nama kecil Burhanuddin ialah Kunun. Tetapi teman-teman sebayanya memanggilnya Pono,” tulis Bustamam. Kehidupan Pono bersama keluarganya serba kekurangan. Hal ini yang kemudian membuat keluarga ini hijrah mencari kehidupan baru ke arah pesisir, saat Pono berusia 7 tahun.
Keluarga ini sampai di Sintuk, dan kemudian diberi sebidang tanah untuk digarap oleh ninik mamak setempat. “Pindah ke Sintuk Lubuk Alung dan belajar agama Islam pertama sekali dengan Tuanku Madinah di Tapakih, Kecamatan Nan Sabarih,” tulis Duski Samad.
- Di Tapakis, bermukim seorang ulama bernama Yahyuddin yang dikenal dengan nama Tuanku Madinah.
- Epada guru ini, Pono mulai mendalami agama Islam, lebih kurang 3 tahun.
- Ia mempelajari ibadah wajib, tauhid, fiqih, tafsir dan sejarah Islam.
- Sebelum meninggal, Tuanku Madinah meminta Pono melanjukan pelajaran agama kepada Syekh Abdurrauf Singkil di Aceh.
Ketika gurunya meninggal, ia membulatkan tekad berangkat ke Aceh untuk belajar agama kepada Syekh Abdurrauf. Abdurrauf adalah ulama terkemuka Aceh di abad ke-17 tersebut. Ia pernah menetap di Mekkah selama 10 tahun untuk mendalami Islam. Kepadanyalah Pono belajar, memperdalam tasawuf dan tarekat Syattariyah, sebagai jalan mengembangkan agama Islam kepada masyarakat.
- Selama di Aceh, ia bukan hanya memperdalam pelajaran agama, tapi juga melewati berbagai ujian berat.
- Ujian itu, sejak dari tirakat, kesetiaan hingga ujian hawa nafsu.
- Semua mampu dilewati oleh Pono.
- Setelah 9 tahun mempelajari tarekat, Pono lulus dan mendapat ijazah dari Syekh Abdurrdauf Singkil.
- Sejak itu, ia dipanggil dengan sebutan Syekh.
Ada yang menyebut, ia belajar di Aceh selama 21 tahun, ada yang menyebut sampai 30 tahun. Ia akhirnya pamit kepada Syekh Abdurrauf untuk pulang kembali ke Minangkabau. Sebelum Pono pulang, Syekh mengganti namanya menjadi Burhanuddin. Sehingga, setelah itu kemudian dikenal dengan panggilan Syekh Burhanuddin.