Periode Perang Aceh – Perang Aceh terjadi dalam empat periode, sepanjang tahun 1873 hingga 1904 itu. Periode pertama Perang Aceh terjadi pada tahun 1873 hingga 1874. Saat itu pasukan Aceh dipimpin Panglima Polim dan Sultan Mahmud Syah. Sementara serdadu Belanda bergerak dipimpin oleh Kohler dengan kekuatan 3000 pasukan. Wikimedia Commons Ilustrasi tewasnya Jenderal J.H.R Kohler dalam Perang Aceh. Periode kedua Perang Aceh terjadi pada tahun 1874 sampai 1880. Rakyat Belanda dalam periode kedua ini dipimpin oleh Tuanku Muhammad Dawood. Belanda yang dipimpin oleh Jenderal Jan van Swieten berhasil menguasai Istana Sultan Aceh pada 26 Januari 1874.
- Perang Aceh periode pertama dan kedua ini tergolong perang total, dengan kekuasaan politik Aceh masih utuh meski pusat pemerintahannya berpindah-pindah.
- Sementara Perang Aceh periode ketiga terjadi pada 1881-1896.
- Dalam periode ini, rakyat Aceh melancarkan strategi perang gerilya di bawah pimpinan Teuku Umar,
Pada periode ketiga ini muncul sejumlah tokoh Perang Aceh seperti Teuku Umar, Cut Nyak Dhien, Teungku Cik di Tiro, Cut Meutia, dan seterusnya. Adapun periode Perang Aceh keempat terjadi pada 1896 sampai 1910. Periode keempat ini berlangsung secara sporadis, tanpa adanya komando dari pusat pemerintahan Aceh.
Contents
6 Apa yang terjadi di Aceh pada tahun 1874?
Periode – Perang Samalanga pertama pada tanggal 26 Agustus 1877. Panglima besar Belanda, Mayor Jenderal Karel van der Heijden kembali ke pasukannya setelah mendapatkan perawatan pada matanya yang tertembak Perang Aceh Pertama (1873-1874) dipimpin oleh Panglima Polim dan Sultan Mahmud Syah melawan Belanda yang dipimpin Köhler,
- Öhler dengan 3000 serdadunya dapat dipatahkan, di mana Köhler sendiri tewas pada tanggal 14 April 1873,
- Sepuluh hari kemudian, perang berkecamuk di mana-mana.
- Yang paling besar saat merebut kembali Masjid Raya Baiturrahman, yang dibantu oleh beberapa kelompok pasukan.
- Ada di Peukan Aceh, Lambhuk, Lampu’uk, Peukan Bada, sampai Lambada, Krueng Raya.
Beberapa ribu orang juga berdatangan dari Teunom, Pidie, Peusangan, dan beberapa wilayah lain. Perang Aceh Kedua (1874-1880). Pasukan Belanda dipimpin oleh Jenderal Jan van Swieten, Belanda berhasil menduduki Keraton Sultan, 26 Januari 1874, dan dijadikan sebagai pusat pertahanan Belanda.
Pada 31 Januari 1874 Jenderal Van Swieten mengumumkan bahwa seluruh Aceh jadi bagian dari Kerajaan Belanda, Ketika Sultan Machmud Syah wafat 26 Januari 1874, digantikan oleh Tuanku Muhammad Dawood yang dinobatkan sebagai Sultan di masjid Indrapuri, Perang pertama dan kedua ini adalah perang total dan frontal, di mana pemerintah masih berjalan mapan, meskipun ibu kota negara berpindah-pindah ke Keumala Dalam, Indrapuri, dan tempat-tempat lain.
Perang ketiga (1881-1896), perang dilanjutkan secara gerilya dan dikobarkan perang fi sabilillah, Di mana sistem perang gerilya ini dilangsungkan sampai tahun 1903. Dalam perang gerilya ini pasukan Aceh di bawah Teuku Umar bersama Panglima Polim dan Sultan.
Apa yang menjadi sebab sebab terjadinya Perang Aceh?
Penyebab Perang Aceh – Berikut penyebab terjadinya perang Aceh dari umum ke khusus:
Penyebab umum perang Aceh adalah pemerintah Belanda melakukan perjanjian Traktat London (1824) dan Traktat Sumatra (1871). Pemerintah Belanda ingin menguasai Aceh karena memiliki kerajaan kuat dan kemampuan diplomatis tinggi. Perjanjian London (1824) membuat Aceh menjadi daerah penyangga kekuasaan Inggris di Malaka. Sedangkan Bengkulu diserahkan Inggris pada Belanda. Belanda berhak atas kekuasaan daerah Sumatra Timur yang didapatkan dari Sultan Siak. Belanda membantu Sultan Siak dalam perang saudara melalui Traktak Siak tahun 1858. Terbukanya Terusan Suez tahun 1869, membuat perairan Aceh menjadi jalur pelayaran Eropa ke Asia. Traktat Sumatra di tahun 1871, menjelaskan Inggris tidak menghalangi usaha Belanda meluaskan daerah kekuasaan sampai Aceh. Penyebab khusus perang Aceh seperti kesultanan Aceh menjalin hubungan diplomasi dengan negara Italia, Turki, dan Amerika Serikat. Belanda cemas nantinya Aceh menuntut untuk diakui kedaulatan oleh Belanda. Belanda menginginkan Aceh tunduk pada pemerintahan. Tetapi Sultan Aceh menolak tunduk pada Belanda hingga terjadi perang.
Siapa yang menang saat Perang Aceh?
Periode pertama Perang Aceh terjadi pada tahun 1873 hingga 1874. Saat itu pasukan Aceh dipimpin Panglima Polim dan Sultan Mahmud Syah. Sementara serdadu Belanda bergerak dipimpin oleh Kohler dengan kekuatan 3000 pasukan. Perang periode pertama ini dimenangkan rakyat Aceh, dengan tewasnya Kohler pada 14 April 1872.
Apa yang terjadi pada 6 April 1873?
Proses dan Fase Perang Aceh – Perang Aceh I (1873-1874) Ibrahim Alfian dalam Perang Kolonial Belanda di Aceh (1977), menyebutkan bahwa perang diawali pada 26 Maret 1873, ketika geladak kapal komando Citadel van Antverpen secara resmi memaklumkan perang terhadap Kerajaan Aceh Darussalam.
Saat itu Belanda tidak langsung melakukan penyerangan karena masih menghimpun pasukan. Melihat yang demikian, pihak Aceh pun melakukan mobilisasi umum guna menghadapi perang yang sudah di ambang pintu itu. Akhirnya, pada 6 April 1873 pasukan Belanda yang dipimpin oleh Jenderal J.H.R.Kohler berlabuh di Pantai Ceureumen, Aceh Barat.
Seketika itu, pasukan Aceh yang dipimpin oleh Panglima Polim dan Sultan Mahmud Syah dengan semangat jihad fi sabilillah langsung menggempur pasukan Belanda dengan meriam. Keberhasilan pasukan Aceh dalam mempertahankan wilayahnya mengakibatkan Belanda kewalahan dan memutuskan untuk menghentikan serangan ini sembari menghimpun kekuatan maupun strategi baru.
- Perang Aceh II (1874-1880) Ekspedisi Aceh II oleh Belanda dipimpin oleh Jenderal Jan van Swieten.
- Pasukan Belanda memang berhasil menguasai istana Kesultanan Aceh Darussalam.
- Akan tetapi, itu terjadi karena pasukan Aceh telah meninggalkan kraton dan bergerilya.
- Oleh karena itu, sama seperti periode sebelumnya, pasukan Belanda tetap kewalahan dalam menghadapi pasukan Aceh di perang fase kedua yang dipimpin oleh Tuanku Muhammad Dawood.
Perang Aceh III (1881-1896) Masih dengan semangat jihad fi sabilillah, para pejuang Aceh seperti Teuku Umar, Cik Ditiro, Panglima Polim, dan Cut Nyak Dien berhasil memobilisasi rakyat Aceh untuk melakukan perang gerilya melawan Belanda. Alhasil, Belanda semakin kewalahan dengan taktik dan semangat perang dari rakyat Aceh.
Pada 1891, Christiaan Snouck Hurgronje yang merupakan ahli bahasa Arab dan Islam yang juga penasihat untuk urusan adat dari pemerintah kolonial datang ke Aceh. Sebagai orang yang paham tentang Islam, ia mendekati para ulama. Peran Snouck Hurgronje menjadikan pasukan Belanda lebih terbantu, karena ia menggunakan siasat menyerang dari dalam yang nantinya membuahkan hasil gemilang.
Bertepatan dengan kedatangan Snouck Hurgronje, rakyat Aceh sedang merasakan duka yang mendalam karena kematian Teuku Cik Ditiro. Salah satu pemimpin Aceh lainnya, Teuku Umar, dikabarkan menyerah kepada Belanda. Namun, itu ternyata hanya taktik semata untuk memperlemah kekuatan lawan.
Perang Aceh IV dan Akhir (1896-1910) Ketiadaan Teuku Umar tidak membuat semangat rakyat Aceh padam menghadapi Belanda. Dipimpin Cut Nyak Dien, istri Teuku Umar, dengan dibantu oleh pejuang wanita bernama Pocut Baren, rakyat Aceh terus melakukan perlawanan. Hingga akhirnya, Teuku Umar yang kembali bergabung dengan pasukan Aceh.
Sayangnya, pada 11 Februari 1899, Teuku Umar gugur di Meulaboh. Perjuangan pun kembali dilanjutkan oleh Cut Nyak Dien bersama Pocut Baren. Ibrahim Alfian dalam Perang di Jalan Allah: Perang Aceh 1873-1912 (1987) mengungkapkan, kondisi rakyat Aceh mulai melemah karena kematian dari beberapa pemimpinnya.
Mengapa Perang Aceh terjadi?
Penyebab Perang Aceh – Perang Aceh terjadi karena ambisi Belanda yang ingin menguasai seluruh wilayah Nusantara pada abad ke-19 Masehi. Butuh waktu lama bagi bangsa asing itu untuk bisa menundukkan wilayah Aceh. Boedi Harsono dalam Hukum Agraria di Indonesia: Sejarah Penyusunannya Isi dan Pelaksanaannya (1975), menyebutkan bahwa ambisi Belanda itu didasari dengan adanya perubahan dunia perekonomian setelah disahkannya Undang-Undang Agraria.
Mengapa Perang Aceh disebabkan oleh Perjanjian Siak 1858?
Penyebab Terjadinya Perang Aceh – Perang Aceh disebabkan karena Belanda berhasil menduduki daerah Siak. Akibat dari Perjanjian Siak 1858. Di mana Sultan Ismail menyerahkan daerah Deli, Langkat, Asahan & Serdang kepada Belanda, padahal daerah-daerah itu sejak Sultan Iskandar Muda, berada di bawah kekuasaan Aceh.
Belanda melanggar perjanjian Siak, maka berakhirlah perjanjian London tahun 1824. Isi perjanjian London ialah Belanda & Britania Raya membuat ketentuan tentang batas-batas kekuasaan kedua daerah di Asia Tenggara yaitu dengan garis lintang Singapura. Keduanya mengakui kedaulatan Aceh. Aceh menuduh Belanda tak menepati janjinya, sehingga kapal-kapal Belanda yg lewat perairan Aceh ditenggelamkan oleh pasukan Aceh.
Perbuatan Aceh ini didukung Britania. Dibukanya Terusan Suez oleh Ferdinand de Lesseps. Menyebabkan perairan Aceh menjadi sangat penting untuk lalu lintas perdagangan. Ditandatanganinya Perjanjian London 1871 antara Inggris & Belanda, yg isinya, Britania memberikan keleluasaan kepada Belanda untuk mengambil tindakan di Aceh.
Belanda harus menjaga keamanan lalulintas di Selat Malaka. Belanda mengizinkan Britania bebas berdagang di Siak & menyerahkan daerahnya di Guyana Barat kepada Britania. Akibat perjanjian Sumatera 1871, Aceh mengadakan hubungan diplomatik dengan Konsul Amerika Serikat, Kerajaan Italia, Kesultanan Usmaniyah di Singapura.
Dan mengirimkan utusan ke Turki Usmani pada tahun 1871. Akibat hubungan diplomatik Aceh dengan Konsul Amerika, Italia & Turki di Singapura, Belanda menjadikan itu sebagai alasan untuk menyerang Aceh. Wakil Presiden Dewan Hindia Frederik Nicolaas Nieuwenhuijzen dengan 2 kapal perangnya datang ke Aceh & meminta keterangan dari Sultan Machmud Syah tentang apa yg sudah dibicarakan di Singapura itu, tetapi Sultan Machmud menolak untuk memberikan keterangan.
Mengapa Perang Aceh terjadi selama tiga puluh tahun?
Perang aceh terjadi selama tiga puluh tahun. Perang ini terjadi kerena beberapa sebab, baik sebab umum maupun sebab khusus. Sebab-sebab umumnya antara lain belanda ingin menguasai Aceh, adanya traktat sumatra (inggris dan belanda) memberi peluang belanda untuk menyerang Aceh dengan Turki, Italia, dan Amerika Serikat.
- Sebab khususnya yaitu belanda menuntut aceh tunduk pada Belanda tetapi ditentang oleh Sultan Mahmud Syah.
- Sultan Aceh menolak semua pemerintahan yang diajukan Belanda.
- Akibat penolakan itu pada tanggal 26 maret 1873, belanda mengumumkan perang terhadap aceh.
- Pernyataan perang itu disusul dengan datangnya kapal-kapal perang belanda dengan kekuatan 3.000 personel.
Pasukan belanda dipimpin oleh Mayor Jendral Kohler. Sasaran pertama mereka adalah Masjid Raya Baiturrahman Ibu Kota Aceh. Pasukan aceh menyambut belanda dengan serangan tanpa mengenal lelah. Pada pertempuran tanggal 14 april 1873. Mayor Jendral Kohler tewas.
- Selanjutnya digantikan Mayor Jendral van Swieten.
- Pasukan belanda menyerang dengan meriam dan tembakan yang juga dibalas dengan tembakan senapan masyarakat Aceh.
- Pertempuran berlangsung kurang lebih selama dua minggu.
- Akhirnya kekuatan aceh terdesak dan istana dapat diduduki pasukan belanda.
- Sultan dan keluarga berhasil menyalamatkan diri ke Leungbata.
Belanda mengira perang telah berkahir dengan telah berhasil menduduki istana. Namun ternyata diluar sana para ulama dan bangsawan tetap siap bertempur, mereka bersama-bersama terus berjuang menggembleng pasukan jidah yang dipimpin oleh Tengku Cik Ditiro.
- Rakayat aceh juga bangikit dengan di pimpin oleh Teuku Umar bersama istrinya Cut Nyak Dien.
- Teuku Umar memimpin serang ke pos-pos Belanda dan berhasil menguasai Meulaboh pada tahun 1882.
- Tanggal 14 juni 1886, Teuku Umar menyerang kapal Hok Canton yang berlabuh di Rigarh.
- Belanda makin kewalahan mengahadapi perjuangan rakyat aceh.
Berbagai cara dan strategi berusaha dilakukan salah satu diantaranya adalah dengan konsentrasi stelsel. Belanda juga menerapkan sistem adu domba. Kedua siasat tersebut mengalami kegagalan. Akhirnya belanda mengirim Dr. Snouck Hurgronje untuk menyilidiki kehidupan dan struktur masyarakat aceh.
Tokoh ini berhasil menyamar dengan nam Abdul Gofar dan berhasil menyelidiki kelemahan masyarakat aceh, yang dituangkan dalam sebuah buku berjudul De Aljehers, Snouck Hurgronje menganjurkan menggunakan kekerasan dan pengelompokan lapisan masyarakat dalam menyerang masyarakat aceh. Namun Jendral Deyckerhoff mengindahkan usulan ini.
Dia menggunaka politik divide et impera untuk mempengaruhi Teuku Umar. Keadaan ini dimanfaatkan oleh Teuku umar dengan pura-pura menyerah kepada belanda dengan maksud untuk mendapatkan perlengkapan senjata. Jendral Deyckerhoff sangat percaya kepada Teuku Umar, kemudian beliau diberi kepercayaan menyerang Benteng Aceh dengan dibekali pasukan dan senjata lengkap.