Tugas Dr. Snouck Hurgronje di Aceh – Untuk menaklukkan Aceh, Belanda akhirnya menempuh jalan dengan mencari rahasia kekuatan masyarakatnya, terutama yang menyangkut kehidupan sosial-budayanya. Tokoh yang dikirim oleh Belanda untuk menyelidiki tata negara Aceh agar diketahui kelemahan rakyat Aceh adalah Dr.
Snouck Hurgronje. Dr. Snouck Hurgronje adalah orientalis ternama berkebangsaan Belanda yang paham tentang agama Islam dan mempunyai pengalaman bergaul dengan orang-orang Aceh selama di Mekah. Dr. Snouck Hurgronje dipandang sebagai orang yang tepat untuk terjun ke tengah masyarakat Aceh dan diberi tugas memecahkan kesulitan-kesulitan yang dihadapi Belanda dalam penaklukkan Aceh.
Pada Juli 1891, Dr. Snouck Hurgronje berhasil masuk ke Aceh untuk memelajari adat-istiadat, kebudayaan, dan ajaran Islam masyarakatnya. Selama menjalankan kegiatannya di Aceh, nama samaran Dr. Snouck Hurgronje adalah Abdul Gafar. Baca juga: Perang Aceh: Penyebab, Tokoh, Jalannya Pertempuran, dan Akhir
Bagaimana sejarah perlawanan rakyataceh terhadap Belanda?
b. Jalannya Perlawanan Rakyat Aceh – Sebelum terjadi peperangan, Aceh telah melakukan persiapan-persiapan. Sekitar 3.000 orang dipersiapkan di sepanjang pantai dan sekitar 4.000 orang pasukan disiapkan di lingkungan istana. Pada tanggal 5 April 1873, pasukan Belanda di bawah pimpinan Mayor Jenderal J.H.R.
Kohler melakukan penyerangan terhadap Masjid Raya Baiturrahman Aceh. Pada tanggal 14 April 1873, Masjid Raya Aceh dapat diduduki oleh pihak Belanda dengan disertai pengorbanan besar, yakni tewasnya Mayor Jenderal Kohler. Setelah Masjid Raya Aceh berhasil dikuasai oleh pihak Belanda, maka kekuatan pasukan Aceh dipusatkan untuk mempertahankan istana Sultan Mahmuh Syah.
Dengan dikuasainya Masjid Raya Aceh oleh pihak Belanda, banyak mengundang para tokoh dan rakyat untuk bergabung berjuang melawan Belanda. Tampilah tokoh-tokoh seperti Panglima Polim, Teuku Imam Lueng Bata, Cut Banta, Teungku Cik Di Tiro, Teuku Umar dan isterinya Cut Nyak Dien. Serdadu Belanda kemudian bergerak untuk menyerang istana kesultanan, dan terjadilah pertempuran di istana kesultanan.
Dengan kekuatan yang besar dan semangat jihad, para pejuang Aceh mampu bertahan, sehingga Belanda gagal untuk menduduki istana. Pada akhir tahun 1873, Belanda mengirimkan ekspedisi militernya lagi secara besar-besaran di bawah pimpinan Letnan Jenderal J. Van Swieten dengan kekutan 8.000 orang tentara.
Pertempuran seru berkobar lagi pada awal tahun 1874 yang akhirnya Belanda berhasil menduduki istana kesultanan. Sultan beserta para tokoh pejuang yang lain meninggalkan istana dan terus melakukan perlawanan di luar kota. Pada tanggal 28 Januari 1874, Sultan Mahmud Syah meninggal, kemudian digantikan oleh putranya yakni Muhammad Daud Syah.
Sementara itu, ketika utusan Aceh yang dikirim ke Turki, yaitu Habib Abdurrachman tiba kembali di Aceh tahun 1879 maka kegiatan penyerangan ke pos-pos Belanda diperhebat. Habib Adurrachman bersama Teuku Cik Di Tiro dan Imam Lueng Bata mengatur taktik penyerangan guna mengacaukan dan memperlemah pos-pos Belanda.
Menyadari betapa sulitnya mematahkan perlawanan rakyat Aceh, pihak Belanda berusaha mengetahui rahasia kekuatan Aceh, terutama yang menyangkut kehidupan sosial-budayanya. Oleh karena itu, pemerintah Belanda mengirim Dr. Snouck Hurgronye (seorang ahli tentang Islam) untuk meneliti soal sosial budaya masyarakat Aceh.
Dengan menyamar sebagai seorang ulama dengan nama Abdul Gafar, ia berhasil masuk Aceh. Hasil penelitiannya dibukukan dengan judul De Atjehers (Orang Aceh). Dari hasil penelitiannya dapat diketahui bahwa sultan tidak mempunyai kekuatan tanpa persetujuan para kepala di bawahnya dan ulama mempunyai pengaruh yang sangat besar di kalangan rakyat.
Dengan demikian langkah yang ditempuh oleh Belanda ialah melakukan politik “de vide et impera ( memecah belah dan menguasai). Cara yang ditempuh kaum ulama yang melawan harus dihadapi dengan kekerasan senjata; kaum bangsawan dan keluarganya diberi kesempatan untuk masuk korps pamong praja di lingkungan pemerintahan kolonial.
Mengapa penjajah kelabakan menghadapi perlawanan pejuang-pejuang Aceh?
Masjid Raya Baiturrahman, Aceh. Foto: ANTARA FOTO / Irwansyah Putra Aceh menjadi wilayah Nusantara terakhir yang jatuh ke tangan Belanda. Ini karena para penjajah kelabakan menghadapi perlawanan pejuang-pejuang Aceh yang tangguh dan sudah terkenal memiliki kekuatan militer yang tidak dapat dipandang sebelah mata.
Apa latar belakang perlawanan dan akhir dari Perang Aceh?
Latar Belakang Perang Aceh Melawan Belanda – Dalam Trakat London yang dibuat oleh Belanda dan Inggris pada 1824, disebutkan bahwa Belanda harus menjamin keamanan perairan Aceh tanpa mengganggu kemerdekaan Aceh. Namun Belanda hendak menjadikan Sumatera sebagai lahan tambahan baru untuk menggendutkan kas kerajaan.
- Apalagi daerah Aceh cukup luas dan memiliki hasil penting seperti lada, hasil tambang, serta hasil hutan.
- Selain itu, setelah terusan Suez dibuka pada 1869 kedudukan Aceh menjadi penting terutama dalam hal perdagangan karena jarak antara negeri Belanda dan Indonesia makin berkurang.
- Akhirnya Belanda dan Inggris menandatangani sebuah perjanjian yang dikenal sebagai Traktat Sumatera pada 2 November 1871.
Isinya adalah “Yang Mulia Ratu Britania (Inggris) tidak lagi keberatan atas semua perluasan dari Kerajaan Belanda di semua bagian Pulau Sumatera”. Pada 1873 pemerintah Hindia Belanda di Batavia mengirim ultimatum kepada Sultan Mahmud Syah II agar menyerah dan tunduk di bawah pemerintahan Hindia Belanda.